TOMOHON-Menyikapi baliho pasangan calon (paslon) independen yang disandingkan dengan baliho calon parpol, dipertanyakan warga karena dikhawatirkan berpotensi bentrok antar-pendukung di lapangan.
Sudah sekira seminggu sejak penyandingan baliho itu terpampang di jalan-jalan utama Kota Tomohon. Di mana baliho paslon independen Wenny Lumentut-Michael Mait (WLMM) dipajang bersama paslon gubernur-wagub Sulut Elly Lasut-Hanny Jost Pajouw (E2L-HJP).
Dan terakhir empat hari lalu disandingkan dengan Steven Kandouw-Denny Tuejeh (SK-DT), paslon dari PDIP.
Warga berpendapat, penertiban baliho seperti itu menjadi ranah dan tugas Bawaslu Tomohon, karena jika baliho tersebut ditertibkan oleh parpol yang keberatan dengan cara itu, dikhawatirkan akan terjadi bentrok antar sesama pendukung.
“Di mana Bawaslu, kenapa sudah beberapa hari tapi tidak ada tindakan. Ada apa ini,” tanya Jantje, warga Kakaskasen mempertanyakan sikap diam Bawaslu Tomohon.
Dikatakan, paslon WLMM dan timnya bisa saja tidak paham aturan tentang hal itu, tapi Bawaslu Tomohon sebagai pelaksana aturan tentang Pemilu, termasuk Pilkada seharusnya segera bertindak agar tidak meresahkan masyarakat.
“Untuk sekarang ini instruksi partai meminta kami menahan diri sambil menunggu Bawaslu. Tapi jika Bawaslu tetap diam, kami akan bertindak,” ujar seorang kader yang meminta identitasnya tidak dipublikasi.
Sementara, Maria Pijoh, Wakil Ketua DPC PDIP Tomohon yang juga anggota DPRD Tomohon, mengatakan soal baliho WLMM yang disandingkan dengan baliho SK-DT itu sudah dibahas di internal partai.
“PDIP keberatan dan secepatnya Bawaslu harus tindaki,” katanya saat ditemui Minggu (6/10/2024) malam.
“Dorang (WLMM) itu independen atau di (parpol) mana. Itu pengkhianatan,” tambahnya.
Sesuai aturan, paslon independen di pilkada tidak dapat secara resmi berkoalisi dengan partai politik. Paslon independen maju melalui jalur perseorangan dengan dukungan masyarakat, yang dibuktikan dengan pengumpulan sejumlah tanda tangan dukungan sesuai persyaratan KPU.
Namun, dalam praktik politik, meskipun tidak ada koalisi formal, partai politik atau tokoh partai bisa memberikan dukungan moral atau politik secara tidak resmi kepada paslon independen.
Dukungan tersebut bisa berbentuk pernyataan politik, penggalangan suara, atau pengaruh di tingkat masyarakat.
Namun, paslon independen tetap tidak dapat mencantumkan nama atau simbol partai politik pada kampanye resmi mereka.
Terkait dengan aturan mengenai kampanye dan penggunaan alat peraga kampanye oleh pasangan calon independen, dasar hukum yang mengatur hal ini terdapat dalam beberapa regulasi pemilu, di antaranya:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota:
Pada Pasal 65 Ayat (1), disebutkan bahwa pasangan calon perseorangan (independen) dilarang menerima dukungan dari partai politik dalam pencalonan mereka. Ini menunjukkan bahwa pasangan calon independen harus menjaga kemandirian mereka dan tidak berafiliasi dengan partai politik.
2. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota:
Pasal 23 Ayat (2) mengatur bahwa alat peraga kampanye yang dibuat dan dipasang oleh pasangan calon atau tim kampanye harus sesuai dengan desain yang telah didaftarkan dan tidak boleh menampilkan logo atau atribut yang tidak sesuai dengan kategori calon (independen atau partai politik).
3. Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum:
Pasal 18 Ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa Bawaslu/Panwaslu memiliki kewenangan untuk menindak pelanggaran kampanye, termasuk penggunaan atribut yang tidak sesuai ketentuan, seperti logo partai politik pada baliho pasangan calon independen.
Pasangan calon independen yang menggunakan logo partai politik dalam kampanyenya dapat dianggap melanggar prinsip independensi dan aturan kampanye yang diatur dalam regulasi tersebut.
Bawaslu atau Panwaslu kiranya dapat melakukan tindakan penertiban, dan pihak dari pasangan calon yang didukung partai politik berhak mengajukan protes jika merasa dirugikan oleh ketidakadilan tersebut.
(red)