Bolaang Mongondow — Desa Batu Merah tampak tenang seperti hari-hari biasa. Namun, di balik rutinitas harian masyarakatnya, tengah bergulir gelombang kecurigaan yang tak bisa lagi ditahan. Dugaan penyimpangan dana desa menyeruak ke permukaan, menyorot pengelolaan anggaran negara yang seharusnya digunakan demi kesejahteraan warga.
Pemicunya adalah sebuah surat resmi. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rakyat Anti Korupsi (RAKO) pada awal Juni 2025 mengirimkan permintaan informasi publik kepada Pemerintah Desa Batu Merah, Kecamatan Sangtombolang, Kabupaten Bolaang Mongondow. Dalam surat itu, RAKO meminta penjelasan terbuka atas penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun Anggaran 2022 hingga 2024, terutama pada sektor ketahanan pangan, pengadaan alat pertanian, peralatan tukang, dan sejumlah program lainnya yang dinilai janggal.
“Kami mencium ada indikasi kuat penyalahgunaan dana desa, termasuk program yang tidak jelas realisasinya. Ini bukan tuduhan, tapi permintaan transparansi,” ujar Harianto Nenga, Ketua LSM RAKO, saat ditemui tim investigasi di Manado.
Harianto menuturkan, pihaknya menerima banyak keluhan dari warga desa Batu Merah yang merasa tidak merasakan manfaat program-program desa, padahal dalam dokumen laporan anggaran, proyek tersebut tercantum dan telah dilaksanakan
Salah satu program yang menjadi sorotan adalah dana ketahanan pangan. Anggaran tersebut, menurut Harianto, seharusnya dialokasikan untuk mendukung produksi pangan lokal, seperti bantuan benih, pupuk, dan alat pertanian. Namun kenyataan di lapangan tidak menunjukkan keberadaan program tersebut secara nyata.
“Kami tidak tahu ke mana uangnya. Alat pertanian yang disebutkan di APBDes tidak pernah kami lihat,” kata seorang warga Batu Merah yang enggan disebut namanya karena takut tekanan dari aparat desa.
Selain itu, pengadaan peralatan tukang untuk mendukung pembangunan swadaya juga menjadi tanda tanya. Beberapa tukang di desa tersebut mengaku tidak pernah menerima fasilitas apapun, meskipun dalam laporan, pengadaan telah dilakukan sejak 2022.
Pemerintah Desa Batu Merah hingga kini memilih bungkam. Tak ada jawaban resmi atas permintaan informasi yang diajukan LSM RAKO. Tak ada klarifikasi terbuka kepada publik. Ini memperkuat dugaan bahwa memang ada sesuatu yang ditutupi.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, setiap badan publik wajib memberikan akses informasi kepada masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penggunaan anggaran negara. Tidak ada ruang untuk ‘rahasia’ dalam konteks dana publik, kecuali yang memang termasuk dalam kategori informasi dikecualikan seperti data pertahanan dan keamanan nasional, atau informasi pribadi.
Harianto menegaskan bahwa jika surat mereka diabaikan, langkah selanjutnya adalah membawa kasus ini ke Komisi Informasi Provinsi Sulawesi Utara, untuk disidangkan secara terbuka.
“Kami siap bawa ini sampai ke jalur ajudikasi. Jika tak ada yang disembunyikan, tentu mereka akan terbuka. Tapi kalau menutup-nutupi, itu tanda-tanda bahaya,” ujarnya tegas.
Fenomena dugaan penyimpangan Dana Desa bukan hal baru. Sejak Dana Desa diluncurkan pada 2015, banyak laporan menunjukkan praktik manipulasi data, markup anggaran, hingga proyek fiktif. Desa-desa terpencil sering menjadi lokasi yang rawan karena minimnya pengawasan eksternal.
Batu Merah, dengan segala keterpencilannya, bisa jadi sedang mengalami hal serupa.
Di tahun 2024, Pemerintah Desa Batu Merah menerima dana desa lebih dari Rp 1,1 miliar. Namun sejumlah proyek strategis yang semestinya berdampak langsung pada masyarakat sulit dilacak realisasinya. Tidak ada dokumentasi terbuka, tidak ada papan informasi proyek, bahkan laporan pertanggungjawaban pun tidak dipublikasikan.
Masalah mendasarnya adalah minimnya kesadaran pemerintah desa akan kewajiban keterbukaan informasi. Padahal, transparansi bukan hanya etika tata kelola, tapi juga amanat hukum.
Komisi Informasi sebagai lembaga negara independen bahkan telah mengatur mekanisme penyelesaian sengketa jika permintaan informasi publik ditolak. Tapi sejauh ini, banyak desa memilih jalan sunyi: diam dan berharap masalah mereda dengan waktu.
Namun LSM seperti RAKO tidak mudah menyerah. Harianto dan timnya berjanji akan terus menelusuri jejak dana desa yang tak jelas arahnya itu, demi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengawasi jalannya pemerintahan.
“Masyarakat berhak tahu. Jangan sampai uang negara hanya berpindah dari buku APBDes ke kantong segelintir orang,” pungkasnya.
(Tim)*