MANADO-Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat Ferry Daud Liando mengingatkan 5 bahaya laten yang berpotensi terjadi pada Pemilu 2024.
Ferry Liando menegaskan, jika ada calon meraih suara dengan 5 cara curang ini dan kemudian menjadi anggota DPRD maka jangan berharap Pemilu akan mengubah nasib rakyat.
“Rakyat akan tetap sengsara,” sebut Ferry Liando ketika menjadi narasumber dengan topik ‘Pemilu 2024, Menapik Polarisasi Politik dan Politisasi SARA’, yang digelar Gerakan Kebangsaan Kota Mataram, Sabtu (24/6/2023).
Ke-5 bahaya laten tersebut, menurut Wakil Sekjen Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) itu adalah;
1) Bahaya Politisasi Agama
Akan banyak tokoh-tokoh agama yang menganjurkan atau memaksa umatnya untuk memilih calon tertentu. Padahal calon tersebut tidak memiliki kapasitas dan pengalaman kepemimpinan yang baik.
Meski mengatasnamakan agama, namun kepentingan para tokoh agama itu sesungguhnya bukan untuk institusi keagamaan yang dipimpinnya namun hanya untuk mempertahankan jabatannya atau jabatan keluarganya.
Sebagai negara demokrasi, tidak ada larangan bagi siapa saja untuk mendukung calon. Terkecuali pihak-pihak yang dinyatakan dilarang oleh UU.
Namun demikian para tokoh itu tidak boleh meminta apalagi memaksa umatnya untuk memilih calon tertentu atas nama agama padahal kapasitas calon itu belum teruji.
Politisasi agama tidak boleh. Namun jika ada tokoh agama yang memperjuangkan politik agama dalam institusi politik, itu hal yang wajar. Keberpihakan agama terhadap orang miskin sangat wajar jika menjadi kebijakan politik.
2) Bahaya Politisasi Kemanusiaan
Akan banyak umat yang dalam waktu dekat akan menjadi seperti malaikat. Sebelum pemilu, cara-cara seperti ini tidak pernah dilakukannya.
Tapi saat hendak pemilu, setiap hari ia akan berdiakonia, menyumbang di tempat ibadah lain, berbagi sembako, tapi ujung-ujungnya minta dukungan suara.
3) Bahaya Politisasi Aparat
Sebagai pihak yang memiliki kewenangan penyalur bantuan sosial ke masyarakat, akan banyak calon yang memanfaatkan pengaruh aparat untuk kepentingan mendapatkan suara.
Aparat itu diajak kerja sama memanfaatkan kewenangannya agar mendukung calon tertentu. Aparat itu bisa saja akan mengintimidasi untuk tidak mendaftarkan atau tidak menyalurkan bantuan kepada pemilih yang tidak sejalan. Kompensasi yang bisa diterima aparat itu bisa saja uang atau tawaran jabatan.
4) Bahaya Politisasi Penyelenggara Pemilu
Penyelenggara pemilu dalam semua tingkatan berpotensi dipengaruhi oleh calon. Calon sangat berkepentingan dengan penyelenggara pemilu berkaitan dengan syarat calon dan pencalonan, pertanggungjawaban penerimaan dan penggunaan dana kampanye, putusan hukum dan perolehan suara.
Petugas di TPS sangat rawan dipengaruhi. Tanpa pengawasan yang ketat bisa jadi ada kertas suara yang sengaja dirusak, pembacaan nama calon tidak sesuai atau kesengajaan membuat salah dalam penghitungan dan pencatatan.
Ada suara calon dikurangi dan ada suara calon yang ditambahkan.
5) Bahaya Politisasi Informasi
Akan banyak calon akan memanfaatkan media informasi untuk black campaign menyerang calon-calon lain. Media akan dimafaatkan untuk saling menjatuhkan, adu domba dan adu manipulasi kapasitas.
Akan banyak calon yang hendak mempengaruhi pemilih dengan cara memanipulasi kekaryaan, citra diri dan prestasi diri.
Sebelumnya tidak ada satupun prestasi yang pernah dilakukannya, namun saat pemilu ia berusaha meyakinkan pemilih tentang segudang prestasi yang sudah dilakukannya.
Modus politisasi informasi para calon akan memanfaatkan iklan-iklan dan pemberitaan media massa, media elektronik, media sosial ataupun baliho-baliho yang dipasang di berbagai lokasi.
(vhp)