TAHUNA -Meski dalam proses sengketa perdata terkait dengan Ijin Produksi PT Tambang Mas Sangihe, namun saat ini aktifitas yang berdalih dengan pembersihan lahan sudah mulai action. Hal ini dengan sendirinya mengundang keprihatinan sejumlah pihak yang tidak ingin wilayah kepulauan dan perbatasan ini dijadikan pulau yang bakal hilang akibat aktifitas pertambangan.
Seperti halnya dengan salah satu tokoh pemuda Sangihe Arief I Janis. Dihubungi awak media, Janis menyebutkan Kontrak Karya ataupun Isin Usaha Pertambangan (IUP) merupakan dokumen resmi yang ditandatangani oleh Kepala Pemerintah di level tertinggi yakni Presiden. Tentunya penerbitan KK mulai tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi dan seterusnya melalui proses yg resmi, transparan, dan semua giat tersebut tertuang didalam dokumen-dokumen pendukung.
“Termasuk dokumen pernyataan “Bersedia lahannya dijadikan area KK” yang telah ditandatangani oleh seluruh masyarakat pemilik lahan yang lahannya telah diklaim masuk pada area penambangan (KK), dan pernyataan tersebut tentunya dituangkan dalam bentuk Berita Acara Penyerahan Lahan ataupun bentuk dokumen lainnya. Jika pernyataan masyarakat tersebut tidak ada, maka patut dipertanyakan keabsahan KK tsb, bisa jadi KK itu ilegal”, ujar Janis.
Janis menyatakan juga jika Pasal 33 UUD 1945 dijadikan senjata untuk “melegalkan” KK, saya kira sudah tidak ada lahan milik masyarakat lokasi tambang yang tidak difungsikan oleh masyarakat setempat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
“Jika tidak didalami dan dikomunikasikan lagi dengan baik dan tetap dipaksakan, bahkan mungkin dengan menggunakan kekuatan-kekuatan maka itulah bentuk penjajahan dan pemaksaan yang sebenarnya. Dan jika itu terjadi, hanya ada satu kata, lawan dengan tanpa mengabaikan aturan-aturan yang berlaku”, imbuh Janis sambil meminta seluruh komponen masyarakat Sangihe bersatu mengusir ‘penjajah’ berwajah investasi yang merusak alam Sangihe.
(sam)