BITUNG – Serial Squid Game buatan Korea Selatan telah menjadi fenomena di seluruh dunia.
Tak hanya itu, banyak juga orang yang mengkritik serial ini terlalu keras karena menyajikan adegan-adegan sadis.
Dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Universitas Indonesia, Eva Latifah, menjelaskan pasar satir mengenai kapitalisme yang terkandung dalam serial Squid Game.
Hal itu disebut Eva akan terlihat bila penonton memahami cerita secara utuh.
“Sekarang yang dihadapi orang-orang Korea ini.. sekarang kan kapitalisme nih, dan kapitalisme itu melahirkan satu hal yang sebetulnya kadang-kadang tidak manusiawi yang kemudian kita bisa lihat dalam drama ini,” kata Eva dalam program CNN Indonesia Connected, baru-baru ini.
Penjelasan Eva merujuk pada permainan yang dimainkan oleh peserta Squid Game sepanjang serial berlangsung. Sebanyak 456 peserta diminta mengikuti enam permainan anak-anak Korea Selatan dengan taruhan nyawa.
Peserta yang berhasil memenangkan enam permainan itu akan mendapat hadiah uang sebesar 45,6 miliar won. Besaran hadiah tersebut didapat dari nyawa setiap peserta yang dihargai sebesar 100 juta won kemudian dikali 456 peserta.
Hadiah yang ditawarkan membuat peserta rela melakukan apa saja dan menghalalkan segala cara. Bahkan mereka tidak segan membunuh peserta lain, kalau tidak demikian mereka akan dibunuh.
Bukan hanya itu, peserta Squid Game slot bet kecil juga bisa meninggal karena peraturan permainan. Dalam sejumlah permainan peserta akan ditembak mati bila kalah atau tidak berhasil memenuhi peraturan permainan tersebut.
Eva sadar banyak orang yang mengkritik serial ini terlalu keras karena menyajikan adegan-adegan sadis. Namun sebenarnya ada pesan tersembunyi di balik adegan yang dipenuhi tumpah darah itu.
“Sebenarnya yang ingin disampaikan oleh sutradara dan penulis adalah bahwa ini kapitalisme pada satu sisi mungkin bisa membuat negara menjadi maju. Tapi di sisi lain menimbulkan suatu masalah secara kemanusiaan,” katanya.
Ia melanjutkan, “Ada unsur persaingan ketat yang membuat orang jadi kehilangan rasa kemanusiaan itu sendiri. Jadinya mereka rela membunuh dan terbunuh demi survive, makanya tema serial ini survival.”
Lebih lanjut, Eva menilai Squid Game juga menjadi sarana promosi budaya Korea Selatan. Hal ini setidaknya terbukti dari permainan anak-anak Negeri Gingseng itu yang mulai dikenal seluruh dunia.
Ia beranggapan Korea Selatan sudah berada pada tahap industri budaya. Dengan demikian mereka bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dan bermanfaat dari produksi budaya, baik dari segi materi atau pun keterkenalan.
“Booming (keterkenalan) ini akan menambah keuntungan buat negara Korea itu sendiri. Jadi, sekali lagi ini mengonfirmasi bahwa Korea sudah masuk industri budaya yang luar biasa,” katanya.(GIW)