BOLMONG – Munculnya pemberitaan di sejumlah media cetak maupun media elektronik termasuk media sosial terkait polemik antara PT. Malisya Sejahtera dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan warga Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow mendapat tanggapan langsung dari manajemen PT. Malisya Sejahtera dan kuasa hukumnya Martin Risman Simanjuntak, SH, MH.
Melalui siaran pers yang diterima SulutAktual. com, Kamis (30/03/2017) sore ini, Pimpinan Proyek Kelapa PT Malisya Sejahtera, David Allorerung, menjelaskan, saat ini perusahaan merencanakan investasi di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara sebagai respon atas salah satu visi dan misi Pemerintah Pusat.
“Investor dapat berinventasi di daerah, sebagai bentuk perwujudan atas kebijakan Pemerintah Daerah yang memilih komoditas kelapa sebagai unggulan.
Sejak tahun 2001, PT Malisya Sejahtera telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) Perkebunan Kelapa, Hak Guna Usaha (HGU) seluas 177,132 Ha, tepatnya berlokasi di Desa Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan “Perizinan-Perizinan” lainnya dari Pemerintah Daerah sesuai disyaratkan dalam Peraturan-Perundang-Undangan yang berlaku,” tulis David.
Namun, lanjutnya, sejak awal tahun 2015 hingga saat ini, kegiatan investasi Perusahaan yang direncanakan untuk pengembangan industri berbasis kelapa secara terpadu mulai dari hulu (produksi benih kelapa bersertifikat) sampai ke industri hilir (pengolahan beragam produk) belum dapat dilaksanakan.
Kami mendapat gangguan terhadap pekerja serta penolakan kegiatan usaha Perusahaan yang dikoordinir secara massif oleh oknum-oknum tertentu yang menjurus pada tindakan “Premanisme”, tambahnya.
“Puncaknya pada tanggal 15 September 2016, karena adanya tekanan dari segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow sebagaimana Surat No. 53/03/IX/2016 tertanggal 15 September 2016, justru mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera (Surat Pejabat Bupati Bolmong) yang sebenarnya secara hukum bukan merupakan kewenangannya,” ungkap David.
David mengatakan, atas pencabutan Izin HGU, Perusahaan “Dipaksa” untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Akhirnya pada tanggal 24 November 2016, PTUN Manado telah membatalkan Surat Pejabat Bupati Bolmong dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).
“Dengan adanya putusan PTUN Manado, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow mengeluarkan surat No. 68/03/XII/2016 tertanggal 9 Desember 2016 yang berisi pembatalan surat pencabutan izin HGU Perusahaan yang dikeluarkan sebelumnya oleh Pejabat Bupati,” tulisnya lagi.
David mengungkapkan, atas dasar putusan Pengadilan PTUN Manado serta kekuatan legalitas yang lengkap dimiliki oleh Perusahaan, maka sejak 3 Maret 2017 Perusahaan kembali melaksanakan aktivitas dimulai dengan menata kembali areal pembibitan yang telah terhenti selama hampir 1 Tahun.
Dengan bermohon pengamanan ke Kapolda Sulawesi Utara dan Kapolres Bolaang Mongondow, perusahaan membersihkan pondok-pondok liar di areal HGU karena tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan menganggu kegiatan perkebunan kelapa sebagaimanana diamanatkan dalam pemberian HGU.
Namun, Ia sangat menyesalkan,karena kegiatan yang dilakukan oleh pekerja masih saja mendapatkan gangguan bahkan penghadangan dari sebagian kecil masyarakat (yang bertindak layaknya Preman), yang dikoordinir oleh Abner Patras dan kawan-kawan.
Bahkan, menurut David, tindakan mereka mengarah pada tindakan anarkis serta mencoreng kewibawaan hukum dan Pemerintah.
“Pada tanggal 25 Maret 2017, mereka melakukan pendudukan lahan tanpa hak, dan melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap salah seorang anggota Koramil Poigar yang sedang membantu pihak Kepolisian guna mengantisipasi pertikaian antara pekerja dengan kelompok Abner,” ungkap David.
Inilah awalnya, peristiwa ini menjadi terekspos melalui media cetak maupun media elektronik termasuk media sosial, yang bernada provokatif/penghasutan dan penyebaran informasi yang bersifat fitnah,” jelas David lagi.
Saat ini, ungkap David, perusahaan berharap hukum yang seharusnya merupakan “Panglima Tertinggi” di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dapat ditegakkan dengan baik di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sehingga tidak terjadi lagi tindakan-tindakan premanisme yang menghambat investasi bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar usaha Perusahaan.
Atas nama perusahaan, Ia juga berharap agar terhadap pelanggar hukum (Penyerobotan Lahan, Pencurian Kelapa, Perusakan) di areal kegiatan usaha Perusahaan dapat diproses secara hukum sebagaimana beberapa laporan polisi yang telah dibuat oleh pihaknya.
David juga mengingatkan, bahwa perusahaan telah mengikuti dan menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kewajiban-kewajiban yang disyaratkan oleh Pemerintah dalam melaksanakan investasi.
“Apabila setiap kebijakan dan keputusan Pemerintah dalam kegiatan berinvestasi oleh Investor begitu mudahnya dihentikan oleh segelintir orang dengan cara-cara melanggar hukum, maka patut dipertanyakan keseriusan dan kesatuan visi dan misi dalam mendorong investasi, khususnya disektor pertanian,” tulisnya.
Dengan adanya penegakan hukum (Law Enforcement), Ia mengharapkan rasa keadilan, perlindungan dan kepastian hukum dapat terwujud dengan baik sehingga iklim dan kegiatan investasi dapat berjalan dengan lancar guna menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan roda perekonomian masyarakat sekitar tanpa adanya gangguan-gangguan dari sekelompok orang (Preman) yang selalu mengatasnamakan masyarakat.
Sementara itu, Kuasa Hukum PT Malisya Sejahtera, Martin Risman Simanjuntak, SH, MH, memperingatkan, pihaknya akan melakukan upaya hukum terhadap pihak-pihak yang telah mencemarkan nama baik perusahaan dan atas tindakan-tindakan yang telah merugikan Perusahaan.
SIARAN PERS
PT Malisya Sejahtera Pertanyakan Keadilan, Keamanan, dan Kepastian Hukum Dalam Berinvestasi di Kabupaten Bolaang Mongondow, Propinsi Sulawesi Utara
Dalam rangka “Merealisasikan Kegiatan Investasi Usaha Perkebunan Kelapa” di Propinsi Sulawesi Utara yang terkenal dengan sebutan “Nyiur Melambai”, sejak tahun 2001, PT Malisya Sejahtera (Perusahaan) telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) Perkebunan Kelapa, Hak Guna Usaha (HGU) seluas 177,132 Ha, tepatnya berlokasi di Desa Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan “Perizinan-Perizinan” lainnya dari Pemerintah Daerah Bolaang Mongondow sebagaimana disyaratkan dalam Peraturan-Perundang-Undangan yang berlaku.
Namun sejak awal tahun 2015 hingga saat ini, kegiatan investasi Perusahaan yang direncanakan untuk pengembangan industri berbasis kelapa secara terpadu mulai dari hulu (produksi benih kelapa bersertifikat) sampai ke industri hilir (pengolahan beragam produk) belum dapat dilaksanakan sesuai yang direncanakan oleh Perusahaan.
Hambatan yang dihadapi Perusahaan adalah gangguan terhadap pekerja serta penolakan kegiatan usaha Perusahaan yang dikoordinir secara massif oleh oknum-oknum tertentu yang menjurus pada tindakan “Premanisme”, yang terkesan dibiarkan oleh pihak-pihak yang berwenang.
Puncaknya pada tanggal 15 September 2016, karena adanya tekanan dari segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow sebagaimana Surat No. 53/03/IX/2016 tertanggal 15 September 2016 justru mencabut izin HGU PT Malisya Sejahtera (Surat Pejabat Bupati Bolmong) yang sebenarnya secara hukum bukan merupakan kewenangannya.
Atas pencabutan Izin HGU Perusahaan tersebut, Perusahaan “Dipaksa” untuk menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Yang akhirnya pada tanggal 24 November 2016, PTUN Manado telah membatalkan Surat Pejabat Bupati Bolmong dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).
Terhadap putusan PTUN Manado tersebut, Pejabat Bupati Bolaang Mongondow telah mengeluarkan surat No. 68/03/XII/2016 tertanggal 9 Desember 2016 perihal membatalkan surat pencabutan izin HGU Perusahaan yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Dengan dasar putusan Pengadilan PTUN Manado tersebut serta kekuatan legalitas yang lengkap dimiliki oleh Perusahaan, maka sejak 3 Maret 2017 Perusahaan kembali melaksanakan aktivitas dimulai dengan menata kembali areal pembibitan yang telah terhenti selama hampir 1 Tahun, serta membersihkan pondok-pondok liar di areal HGU Perusahaan karena tidak sesuai dengan peruntukan lahan dan menganggu kegiatan perkebunan kelapa sebagaimanana diamanatkan dalam pemberian HGU.
Mengingat pengalaman sebelumnya dan untuk memberikan rasa aman kepada pekerja dilapangan, maka pada saat aktivitas dimulai kembali, Perusahaan telah mengajukan permohonan pengamanan kepada Kapolda Sulawesi Utara dan Kapolres Bolaang Mongondow.
Perusahaan memberikan apresiasi atas dukungan pengamanan yang telah diberikan oleh jajaran POLRI sehingga aktivitas Perusahaan dapat berjalan dengan baik, sehingga pekerja yang berjumlah lebih kurang 90 orang tetap bekerja dilokasi usaha Perusahaan hingga saat ini, dan seluruh pekerja tersebut berasal dari Desa Tiberias.
Namun demikian, sangat disesalkan kegiatan yang dilakukan oleh pekerja Perusahaan masih saja mendapatkan gangguan bahkan penghadangan dari sebagian kecil masyarakat (yang bertindak layaknya Preman), yang dikoordinir oleh Abner Patras dkk, yang mengarah pada tindakan anarkis serta tindakan dari Abner Patras dkk yang telah mencoreng kewibawaan hukum dan Pemerintah dengan melakukan pendudukan lahan tanpa hak, bahkan melakukan tindakan fisik terhadap salah seorang anggota Koramil Poigar yang sedang membantu pihak Kepolisian guna mengantisipasi pertikaian antara Pekerja Perusahaan dengan Kelompok Abner Dkk pada tanggal 25 Maret 2017.
Atas kejadian ini, Perusahaan meminta kepada seluruh pihak untuk menghentikan upaya-upaya provokatif/penghasutan dan penyebaran informasi yang bersifat fitnah baik melalui media cetak maupun media elektronik termasuk media sosial.
Apabila masih terjadi, maka Perusahaan masih mencadangkan haknya untuk melakukan upaya hukum terhadap pihak-pihak yang telah mencemarkan nama baik Perusahaan dan atas tindakan-tindakan yang telah merugikan Perusahaan, demikian pernyataan dari Martin Risman Simanjuntak, SH, MH, Kuasa Hukum PT Malisya Sejahtera.
Berdasarkan uraian penjelasan singkat diatas, Perusahaan berharap hukum yang seharusnya merupakan “Panglima Tertinggi” di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dapat ditegakkan dengan baik di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sehingga tidak terjadi lagi tindakan-tindakan premanisme yang menghambat investasi bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar usaha Perusahaan.
Perusahaan juga berharap agar terhadap pelanggar hukum (Penyerobotan Lahan, Pencurian Kelapa, Perusakan) di areal kegiatan usaha Perusahaan dapat diproses secara hukum sebagaimana beberapa laporan polisi yang telah dibuat oleh pihak Perusahaan.
Perlu kami sampaikan bahwa Perusahaan telah mengikuti dan menaati seluruh ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta kewajiban-kewajiban yang disyaratkan oleh Pemerintah dalam melaksanakan investasi.
Apabila setiap kebijakan dan keputusan Pemerintah dalam kegiatan berinvestasi oleh Investor begitu mudahnya dihentikan oleh segelintir orang dengan cara-cara melanggar hukum, maka patut dipertanyakan keseriusan dan kesatuan visi dan misi dalam mendorong investasi, khususnya disektor pertanian.
Perusahaan merencanakan investasi di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara sebagai respon atas salah satu visi dan misi Pemerintah Pusat agar Investor dapat berinventasi di daerah dan sebagai bentuk perwujudan atas kebijakan Pemerintah Daerah yang memilih komoditas kelapa sebagai unggulan, demikian pernyataan dari David Allorerung (Pimpinan Proyek Kelapa PT Malisya Sejahtera).
Dengan adanya penegakan hukum (Law Enforcement), diharapkan rasa keadilan, perlindungan dan kepastian hukum dapat terwujud dengan baik sehingga iklim dan kegiatan investasi dapat berjalan dengan lancar guna menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan roda perekonomian masyarakat sekitar tanpa adanya gangguan-gangguan dari sekelompok orang (Preman) yang selalu mengatasnamakan masyarakat.
(Budi/Siaran Pers)